Pemahaman Jual Beli Menurut Mazhab Syafi'i dan Malik

Pemahaman Jual Beli Menurut Mazhab Syafi’i dan Malik

Dalam kitab Al-Mizan Al-Kubra, juz 2 halaman 63, Imam Abil Mawahib Abdil Wahhab bin Ahmad bin Ali Al-Anshari yang dikenal juga sebagai As-Sya'rani menyatakan bahwa dalam mazhab Syafi'i, transaksi jual beli tidak otomatis terjadi hanya dengan proses serah-terima. Hal ini berbeda dengan pendapat Imam Malik yang berpendapat bahwa transaksi jual beli secara otomatis terjadi dengan proses tersebut.

Pendapat As-Syafi'i dalam hal ini adalah bentuk usaha untuk menjadikan variabel kualitatif menjadi variabel kuantitatif. Dengan demikian, variabel yang semula tidak dapat diukur menjadi dapat diukur. Pengukuran ini dilakukan dalam mengambil keputusan akan keabsahan jual beli.

Namun, terlepas dari perbedaan pendapat tersebut, kita dapat menarik hikmah berikut: mazhab Maliki menjadi lebih fleksibel untuk diterapkan dalam kondisi maraknya e-commerce saat ini. Di sisi lain, jual-beli perkara yang besar seperti tanah, rumah, perusahaan, dan sebagainya tetap memerlukan kehati-hatian melalui redaksi konkret dalam transaksi.

Dalam masa sekarang, aturan tersebut dapat dirupakan ke dalam pernyataan tertulis 'hitam di atas putih'. As-Sya'rani juga mengatakan bahwa keduanya dapat digunakan (bergantian) berdasarkan pertimbangan dengan menyesuaikan konteks yang mengitarinya.

Pendapat Imam Syafi'i sangat penting digunakan terutama ketika terjadi persengketaan antara penjual dan pembeli yang kemudian diajukan kasusnya ke depan hakim. Persaksian akan orang yang bersaksi menyaksikan dan 'mendengarkan' redaksi akad tersebut.

Di sisi lain, pendapat Imam Malik dapat dijadikan sebagai bukti petunjuk (dalalah iqtiran) terhadap kasus hukum sebagaimana dicontohkan di sini. Di mana persaksian seseorang yang menyaksikan bahwa si-A menyerahkan sejumlah uang kepada si-B dan si-B sebaliknya menyerahkan sebuah barang kepada si-A.

Demikian, pendapat Imam Syafi'i dan Malik dapat digunakan sebagai acuan dalam mengambil keputusan akan keabsahan jual beli. Namun, perlu diingat bahwa dalam setiap kasus hukum, harus dilakukan pertimbangan yang matang dengan mempertimbangkan konteks yang mengitarinya.

Simpulan

Dalam artikel ini, kita membahas pendapat Imam Syafi'i dan Malik tentang jual beli. Kita melihat bahwa pendapat As-Syafi'i lebih fleksibel dalam menghadapi kondisi e-commerce modern, sedangkan pendapat Imam Malik lebih fokus pada kehati-hatian dalam transaksi jual-beli.

Kita juga menarik hikmah bahwa keduanya dapat digunakan (bergantian) berdasarkan pertimbangan dengan menyesuaikan konteks yang mengitarinya. Demikian, pendapat Imam Syafi'i dan Malik dapat digunakan sebagai acuan dalam mengambil keputusan akan keabsahan jual beli.

Terima Kasih

Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulisan artikel ini. Semoga artikel ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca.