Teori Domino dan Implikasinya pada Politik Luar Negeri

Teori Domino dan Implikasinya pada Politik Luar Negeri

Pada dasarnya, teori domino dikembangkan oleh Dwight D. Eisenhower, Presiden Amerika Serikat ke-34, untuk menjelaskan konsep bahwa jatuhnya sebuah negara komunis akan mempengaruhi negara-negara lain yang berdekatan dan membentuk "roti lapis merah" komunis. Ide ini pertama kali dikemukakan oleh Eisenhower pada tahun 1954 dalam pidato di Universitas Harvard.

Teori domino diyakini bahwa jatuhnya sebuah negara komunis akan menciptakan suasana takut yang kuat di kalangan negara-negara lain, sehingga mereka juga akan menjadi korban "penyebaran" komunisme. Dalam beberapa tahun terakhir, teori ini digunakan sebagai alasan untuk membenarkan intervensi militer Amerika Serikat di berbagai wilayah, termasuk Vietnam.

Selain itu, teori domino dapat didorong lebih jauh setelah meningkatnya jumlah serangan oleh kelompok teroris sayap kiri di Eropa Barat yang didanai oleh pemerintah negara-negara komunis antara tahun 1960-an dan 1980-an. Di Italia, serangan tersebut meliputi penculikan dan pembunuhan mantan Perdana Menteri Italia Aldo Moro dan penculikan mantan Brigadir Jenderal A.S. James L. Dozier oleh Brigade Merah.

Di Jerman Barat, serangan teroris dilancarkan oleh Faksi Pasukan Merah. Di Timur Jauh, Pasukan Merah Jepang melancarkan serangan serupa. Dalam wawancara Frost/Nixon tahun 1977, Richard Nixon mempertahankan destabilisasi rezim Salvador Allende di Chili oleh Amerika Serikat dengan alasan teori domino.

Meminjam metafora yang ia dengar, ia menyatakan bahwa Chili dan Kuba yang komunis akan menciptakan "roti lapis merah" yang dapat menggencet Amerika Latin. Pada 1980-an, teori domino digunakan untuk membenarkan intervensi pemerintahan Reagan di Amerika Tengah dan kawasan Karibia.

Dalam memoarnya, mantan Perdana Menteri Rhodesia Ian Smith menyebut kebangkitan pemerintahan sayap kiri otoriter di Afrika Sub-Sahara pada era dekolonisasi sebagai "taktik domino kaum komunis". Menurut Smith, pembentukan pemerintahan pro-komunis di Tanzania (1961–64) dan Zambia (1964) dan pemerintahan Marxis-Leninis di Angola (1975), Mozambik (1975), dan Rhodesia (1980) merupakan bukti "penggerogotan diam-diam imperialisme Soviet di benua ini".

Kartun politik Carlos Latuff yang menyamakan teori domino dengan Musim Semi Arab. Sejumlah analis kebijakan luar negeri di Amerika Serikat menyebut penyebaran teokrasi Islam dan demokrasi liberal di Timur Tengah sebagai dua kemungkinan adanya teori domino.

Pada masa Perang Iran-Irak, Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya mendukung Irak karena khawatir teokrasi radikal Iran akan menyebar di Timur Tengah. Semasa invasi Irak 2003, sejumlah pihak neokonservatif Amerika berpendapat bahwa apabila pemerintahan demokratis dibentuk di Irak, demokrasi dan liberalisme akan menyebar di Timur Tengah.

Hal tersebut dijuluki sebagai "teori domino terbalik" karena efeknya dianggap positif oleh Barat, bukan negatif. Dalam beberapa tahun terakhir, teori domino digunakan kembali sebagai alasan untuk membenarkan intervensi militer Amerika Serikat di berbagai wilayah, termasuk Afghanistan dan Irak.

Dalam beberapa analisis, kekalahan sebuah kekuatan super akan mendorong musuh-musuh kita untuk melancarkan agresi yang sebelumnya enggan dilakukan. Namun, dalam beberapa kasus, teori domino dapat digunakan sebagai alasan untuk membenarkan intervensi militer Amerika Serikat di berbagai wilayah.

Dalam beberapa tahun terakhir, teori domino digunakan kembali sebagai alasan untuk membenarkan intervensi militer Amerika Serikat di berbagai wilayah, termasuk Afghanistan dan Irak.