Italia, salah satu negara dengan aktivitas seismik paling aktif di dunia, telah mengalami serangkaian gempa bumi dalam dua bulan terakhir. Gempa besar berkekuatan 6,6 SR yang terjadi pada 24 Agustus lalu telah memicu terjadinya gempa-gempa susulan selanjutnya. Ahli seismologi Italia dari National Institute for Geophysics and Vulcanology, Gianluca Valensise, mengungkapkan bahwa gempa-gempa tersebut timbul akibat adanya efek domino.
Pegunungan Apennine yang terbentang dari daerah Liguria ke Sisilia didominasi oleh lempeng kerak bumi, masing-masing sepanjang 10-20 km. Lempeng ini dapat bergerak dan menciptakan tekanan yang didistribusikan ke seluruh lempeng yang berdekatan. Gempa berkekuatan 6 SR atau lebih besar dari itu dapat menciptakan tekanan seperti ini.
"Urutannya mirip dengan apa yang kita lihat sekarang, tapi itu dalam skala yang lebih besar," kata Valensise mengenai serangkaian gempa bumi yang terjadi di Italia pada tahun 1783. Pada waktu itu, ada lima gempa besar berkekuatan lebih dari 6,5 SR dalam waktu kurang dari dua bulan.
Valensise juga memprediksi bahwa masih akan terjadi beberapa gempa susulan di Italia dalam beberapa pekan. Namun, ia tidak bisa memastikan apakah akan ada gempa yang lebih besar. "Gempa berkekuatan 6 SR atau lebih besar dari itu dapat menciptakan tekanan yang didistribusikan ke seluruh lempeng yang berdekatan. Ini mungkin apa yang telah kita lihat sejak Agustus," kata Valensise.
Serangkaian gempa bumi di Italia tidak hanya menimbulkan korban jiwa, tetapi juga telah mengakibatkan kerusakan signifikan pada infrastruktur dan lingkungan. Gempa terbaru yang terjadi pada 26 Oktober lalu memiliki kekuatan 6,1 SR, sedangkan gempa lainnya pada 30 Oktober lalu memiliki kekuatan 6,6 SR.
Italia telah menjadi salah satu negara dengan aktivitas seismik paling aktif di dunia. Negara tersebut telah mengalami beberapa serangkaian gempa bumi dalam dua bulan terakhir, yang dipicu oleh efek domino. Gempa-gempa susulan lainnya dapat terjadi, dan masyarakat Italia harus siap menghadapi potensi bencana yang lebih besar.
Oleh Fira Nursya'bani/Reuters, ed: Yeyen Rostiyani