Marga adalah Neraka: Kisah Kelabuhan dan Ketakutan

Marga adalah Neraka: Kisah Kelabuhan dan Ketakutan

Kedai kopi, sebuah tempat yang biasanya penuh dengan suasana santai dan kemanjaan. Namun, pada malam berikutnya, situasi di sana jauh dari biasa. Seorang lelaki separuh baya, berbadan besar dan tidak berkumis, datang membawa setumpuk kertas bon dan membantingnya di tengah salah satu meja. Ada apa? Pastilah hutang.

Lelaki tersebut, seorang kuli yang merasa berhutang, seperti tak mampu menyembunyikan wajahnya dari yang lain. Dan tentu saja ini cukup menegangkan. Sementara di meja yang lain, batu masih terus beradu, tapi tanpa suara lengking tawa.

Malam berikutnya, seorang lelaki yang juga berbadan besar dan berambut cepak, datang bergegas dengan seorang anak lelaki berumur sepuluh tahun. Malam ini kedai kopi kembali ricuh. Lelaki cepak itu langsung berteriak, “Mana kuli yang telah merampas uangmu, mana dia, mana!” Lelaki kecil berumur sepuluh tahun langsung menunjuk seorang kuli yang duduk merokok di sudut kedai.

Tidak ada basa-basi, sebuah tendangan telak mengenai dada lelaki kuli itu. Dan karena melihat lawan sudah tampak terkapar, lelaki cepak pergi dengan menggeret tangan lelaki kecil, pergi seperti seorang pahlawan yang baru saja menunjukkan kehebatannya.

Namun, siapa yang menyangka, jika keesokan siangnya, telah ditemukan seorang mayat anak lelaki berumur sepuluh tahun tersangkut di tiang pelabuhan. Dan kematian, telah mengakibatkan kedai kopi ini berurusan dengan banyak hal.

Para kuli, kini harus mulai mengatakan bahwa mereka memang tak bisa terlepas dari segala macam urusan. Sesuatu yang tak terduga pasti terjadi setelahnya. Tengoklah, puluhan orang berbondong-bondong dengan sebilah parang di tangan mereka.

Orang-orang ini menjelma sebagai makhluk-makhluk yang beringas, menabuh genderang perang. Dan beruntunglah, jika para kuli masih sempat memperpanjang nyawa mereka dengan berlari ke segala arah, melepaskan diri dari serangan segala urusan di luar diri mereka.

Ketidakpuasan itu harus dituntaskan dengan sesuatu yang lain. “Bakar! Bakar kedai kopi terkutuk ini!”

Siapakah yang paling merasa kehilangan? Malam di tepian sungai ini, hanya sunyi yang jongkok di atas pepuing kedai kopi. Ia seperti seseorang yang jongkok menekur diri, sambil bergumam, “Tidak lebih baik menjadi kuli di negeri sendiri…”

Dalam cerita ini, marga adalah neraka. Neraka bukan hanya tempat yang panas dan berapi-api, tapi juga tempat yang penuh dengan keputusasaan dan ketakutan. Kedai kopi tersebut telah berubah dari sebuah tempat santai menjadi tempat yang berisi kepedihan dan kematian.

Latar Belakang

Kisah ini berlatar belakang di Pekanbaru, tahun 2005. Kota yang dulu dikenal sebagai kota perdagangan dan perkebunan, kini telah mengalami transformasi menjadi kota industri dan komersial. Dalam cerita ini, kita melihat bagaimana masyarakat setempat beradaptasi dengan perubahan tersebut.

Simbolisme

Dalam cerita ini, simbolisme digunakan untuk menunjukkan konflik antara kuli dengan lelaki cepak. Lelaki cepak menjadi wakil dari kekuatan dan autoritas, sementara kuli mewakili korban dan ketakutan.

Sementara itu, kematian anak lelaki berumur sepuluh tahun menjadi simbolisme dari kematian harapan dan masa depan. Kedai kopi yang awalnya sebagai tempat santai, kini telah berubah menjadi tempat kepedihan dan kematian.

Pesan

Cerita ini memberikan pesan bahwa perubahan dan kemajuan harus didasarkan pada kesadaran dan kesempatan untuk setiap individu. Jangan biarkan marga menjadi neraka, tapi jadikan marga sebagai kesempatan untuk tumbuh dan berkembang.

Artikel ini ditulis dalam bentuk cerita yang diceritakan oleh seorang penulis tanpa nama. Namun, isi cerita ini menunjukkan bahwa perubahan dan kemajuan harus didasarkan pada kesadaran dan kesempatan untuk setiap individu.