Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Urusan rejeki, jodoh, dan nasib masih menjadi perdebatan sampai sekarang tentang siapa yang berperan mengatur dan menentukan. Ada yang bilang itu semua mutlak urusan Tuhan, tetapi tidak sedikit juga yang bilang itu total urusan manusia.
Bagi golongan pertama, mereka memiliki dalil tersendiri yang membuatnya mengambil sikap "wait and see" atau pasrah apa adanya (se-dikasihnya). Kenapa? Karena mereka menganggap jodoh, rejeki akan datang dengan sendirinya sebab, "Itu kan urusan Tuhan"?
Lalu, lain halnya dengan mereka yang tidak percaya ungkapan di atas. Mereka akan bersikap over confidence, ambisius bahkan cenderung angkuh seolah-olah semua keberhasilan ditentukan oleh kerja kerasnya semata tanpa campur tangan Tuhan. "Itu kan urusan manusia? Dalih mereka.
Nah, keduanya kelompok manusia ini masing-masing bersikukuh dengan pendapatnya masing-masing. Jika melihat sejarah, sebenarnya pemahaman mereka memiliki akar sejarah yang kuat dimana telah terjadi pertarungan dua konsep pemikiran sejak dahulu hingga sekarang.
Pemahaman itu dikenal dengan istilah faham Qadariyah dan Jabariyah. Faham Qadariyah secara bahasa berasal dari bahasa arab qadara yang artinya adalah kemampuan atau kekuatan sedangkan secara istilah adalah satu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan, artinya tanpa campur tangan Tuhan.
Pemahaman ini muncul pada pertengahan abad ke-1 Hijriah di Basrah, Irak. Kelompok ini memiliki pemahaman tidak mempercayai takdir yaitu bahwa perbuatan makhluk berada di luar kehendak Allah dan juga bukan ciptaan Allah. Manusia berkehendak bebas menentukan perbuatannya bahkan nasibnya sendiri dan makhluk yang menciptakan amal dan perbuatannya sendiri tanpa campur tangan dari Allah.
Salah satu dalil yang digunakan adalah QS. Fushshilat ayat 40 yang artinya: "Perbuatlah apa yang kamu kehendaki, sesungguhnya Allah mengetahui apayang kamu kerjakan". Dan Q.S Yunus ayat 108 yang artinya: "Katakanlah, wahai manusia! Telah datang kebenaran dari Tuhanmu. Sesungguhnya (kebenaran itu) untuk dirinya sendii dan barang siapa sesat maka ia menyesatkan dirinyasendiri dan Aku bukanlah pengatur urusanmu".
Sedangkan, faham Jabariyah justru sebaliknya, Kata Jabariyah berasal dari kata arab "Jabara" atau "Ijbar" yang artinya paksa, terpaksa, dan memaksa. Bisa juga dimaknai sebagai alzama hu bi fi'lih yaitu berkewajiban atau terpaksa dalam pekerjaannya.
Manusia terpaksa melakukan perbuatan yang sudah dikehendaki dan ditetapkan Tuhan dan tidak mempunyai kemampuan dan kebebasan untuk melakukan sesuatu atau meninggalkan suatu perbuatan. Dalam filsafat Barat aliran ini dinamakan Fatalisme atau Predestination.
Dengan demikian, menjadi jelas bahwa urusan rejeki, jodoh, dan nasib tidak dapat dipisahkan dari konsep faham Qadariyah dan Jabariyah. Keduanya memiliki pandangan yang berbeda tentang bagaimana Tuhan mengatur kehidupan manusia.
Namun, dalam praktiknya, banyak orang menjalani hidup dengan keyakinan bahwa Tuhan mengatur segala sesuatu. Mereka percaya bahwa segala tindakan dan perbuatan mereka dipermasalahkan Tuhan dan tidak berdaya penuh untuk menentukan nasib sendiri.
Tapi, bagaimana jika kita memiliki keyakinan yang lain? Bagaimana jika kita mempercayai bahwa kita memiliki kebebasan untuk menentukan nasib sendiri?
Perdebatan ini akan terus berlangsung, namun satu hal yang jelas adalah bahwa urusan rejeki, jodoh, dan nasib memang memiliki implikasi yang sangat dalam pada hidup manusia. Oleh karena itu, perlu diingat bahwa keputusan kita tentang bagaimana Tuhan mengatur kehidupan kita dapat berpengaruh pada cara kita menjalani hidup.
Referensi
- Fathurrahman (2019). Qadariyah dan Jabariyah: Dua Aliran Filsafat Islam. Jakarta: Erlangga.
- Ibn Arabi (2018). Fusus al-Hikam. Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyya.
Kata-kata Kunci
- Rejeki
- Jodoh
- Nasib
- Qadariyah
- Jabariyah
- Filsafat Islam