Wolter Robert van Hoëvell, seorang politikus Belanda, pernah mengajak rekan sebangsanya untuk berpikir hingga tingkatan mana mereka telah gagal. Hal ini terjadi pada tahun 1859, ketika laporannya "Slaven en vrijen onder de Nederlandsche wet" (Hamba dan bebas di bawah undang-undang Belanda) menjadi salah satu faktor yang mendorong penghapusan perbudakan.
Meskipun demikian, politik saldo untung tetap kuat. Hal ini mempengaruhi anggaran Belanda pada masa itu, ketika kemungkinan kebangkrutan negeri tampak membesar. Sebenarnya, Tweede Kamer (Parlemen Belanda) juga memprotes penggunaan istilah "daerah" yang menguntungkan untuk Jawa pada tahun 1853. Namun, kritik-kritik akibat hal tersebut awalnya hanya terdengar di Belanda.
Di kalangan penduduk Eropa di Hindia, kritik-kritik mulai terdengar. Mereka menyalahkan sistem tanam paksa yang dikategorikan sebagai "saldo untung" oleh pemerintah kolonial Belanda. Kritik-kritik ini menunjukkan bahwa Hindia harus membawa kemakmuran atas tanah air, tetapi tak semua orang menutup mata atas cara saldo untung diperoleh.
Pada tahun 1860-an, Nederlands-Indie (Hindia Belanda) benar-benar menjadi sasaran pembahasan untuk perwakilan rakyat. Dalam waktu yang sama, UU Gula 1870 dan UU Agraria 1870 disahkan, yang berarti penarikan bertahap pemerintah Hindia-Belanda dari budi daya gula dan menjamin kepemilikan tanah penduduk asli Indonesia. Hal ini mengakhiri sistem tanam paksa.
Hingga tahun 1877, masih ada kabar burung tentang saldo untung. Namun, dengan jatuhnya harga kopi dan berkecamuknya Perang Aceh, hal ini juga berakhir. Pendapat awal tentang penggunaan saldo untung untuk Belanda dapat dibenarkan, yakni bahwa kesatuan keuangan antara Belanda dan Hindia tidak ada lagi. Kerugiannya sepenuhnya berasal dari anggaran Hindia.
Setelah masa tersebut tidak ada lagi rumor tentang saldo untung, sisa saldo itu masih tetap ada hingga tahun 1912. Secara tidak langsung, sistem budi daya dan perdagangan di Hindia tetap penting bagi kemakmuran Belanda.
Pada awalnya, liberalisasi tampak menguntungkan penduduk Jawa. Namun, pengaturan atas modal yang terbatas untuk mewujudkan investasi memastikan bahwa hal itu menjadikannya tidak dapat bersaing di Eropa. Conrad Theodore van Deventer memperjuangkannya pada tahun 1899 dalam artikel "Een ereschuld" di majalah De Gids, untuk membayarkan kembali saldo untung sebesar 187.000.000 gulden kepada Hindia sejak diberlakukannya UU Transaksi Hindia pada tahun 1867.
Meskipun tampaknya besar, hal itu tampaknya tak pernah terjadi. Oleh Menteri Idenburg, utang Hindia sebesar 40.000.000 gulden diambil alih pada tahun 1905. Selama masa itulah, politik etis dimulai, yang tujuannya adalah membentuk penduduk negeri jajahan sedemikian rupa sehingga dapat mandiri secara politik dan ekonomi.
Namun, di sini juga, kepentingan pribadi memainkan peran penting untuk Belanda. Sebagai contoh, Blok DP (red) et al. dalam buku "Algemene Geschiedenis der Nederlanden" (1977-1983) dan De Jong J. dalam artikel "Van batig slot naar ereschuld: de discussie over de financiële verhouding tussen Nederland en Indië en de hervorming van de Nederlandse koloniale politiek 1860-1900" (1989) menegaskan bahwa kepentingan pribadi memainkan peran penting dalam sejarah saldo untung Belanda di Hindia.
Dalam kesimpulan, sejarah saldo untung Belanda di Hindia (1859-1912) adalah sebuah cerita tentang bagaimana pemerintah kolonial Belanda berupaya mencari keuntungan dari wilayah jajahan mereka. Hal ini terjadi pada masa perubahan besar dalam sejarah koloniisme dan imperialisme, ketika kepentingan pribadi memainkan peran penting dalam penentuan nasib negeri-negeri jajahan.