Bermain untuk Keseimbangan: Hadits Nabi Muhammad Saw dan Signifikansi Pendidikan

Bermain untuk Keseimbangan: Hadits Nabi Muhammad Saw dan Signifikansi Pendidikan

Tuliskan artikel dalam bahasa Indonesia dengan panjang lebih dari 1000 kata.

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah tiba dari perang Tabuk atau Khaibar. Ketika itu kamar Aisyah ditutup dengan sebuah tirai. Ketika ada angin yang bertiup, tirai itu tersingkap hingga mainan-mainan boneka Aisyah terlihat. Beliau lalu bertanya: “Wahai Aisyah, ini apa?”. Aisyah menjawab, “Ini anak-anakku”. Lalu beliau juga melihat di antara mainan tersebut ada yang berbentuk kuda yang mempunyai dua sayap yang ditempelkan dari tambalan kain. Nabi lalu bertanya: “Lalu apa ini yang aku lihat di tengah-tengah?”. Aisyah menjawab, “Ini kuda”. Nabi bertanya lagi: “Lalu apa yang ada di atas kuda tersebut?”. Aisyah menjawab, “Ini dua sayapnya”. Nabi bertanya lagi: “Apakah kuda punya dua sayap?”. Aisyah menjawab, “Tidakkah engkau pernah mendengar bahwa Nabi Sulaiman mempunyai kuda yang punya banyak sayap?”. Aisyah lalu berkata, “Nabi lalu tertawa hingga aku dapat melihat giginya gerahamnya” (HR. Abu Daud no. 4932, dihasankan oleh Ibnu Hajar dalam Takhrij Al Misykah [3/304], dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abu Daud).

Hadits ini menunjukkan bahwa Aisyah yang ketika itu masih anak-anak memiliki mainan yang berbentuk manusia dan hewan, namun Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak melarangnya. Hal ini menunjukkan adanya kelonggaran untuk anak-anak dalam masalah gambar makhluk bernyawa.

Menurut Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah (12/112), mayoritas ulama dalam pelarangan gambar makhluk bernyawa mengecualikan gambar dan patung untuk mainan anak-anak wanita. Ini merupakan pendapat madzhab Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah. Dan dinukil dari Al Qadhi ‘Iyadh bahwa pendapat yang membolehkan adalah pendapat jumhur ulama.

Dalam hadits ini juga menunjukkan pentingnya bermain untuk keseimbangan. Anak-anak memerlukan permainan untuk mengembangkan kemampuan sosial, emosional, dan psikologis mereka. Namun, permainan haruslah mubah dan tidak melanggar syariat Allah.

Sebagai orangtua, kita perlu menjaga fitrah bermain pada anak dengan mengarahkannya pada permainan yang mubah dan menjaga serta menjauhkan mereka dari permainan yang Allah larang dan haramkan. Kita juga perlu menjadi contoh bagi anak-anak kita dan menunjukkan kepada mereka bagaimana bermain sebagaimana mestinya.

Wallahu a’lam.

Penulis: Penulis Atma Beauty Muslimawati

Referensi:

  • Anakku! Sudah Tepatkah Pendidikannya? (Terjemah), Syaikh Musthafa Al-‘Adawi, cetakan Pustaka Ibnu Katsir, Bogor