Dalam beberapa tahun terakhir, pasar palsu di Korea telah mengalami peningkatan signifikan. Pasar palsu ini biasanya berada di luar jalur hukum dan tidak terdaftar sebagai perusahaan resmi. Mereka menjual produk palsu dengan harga yang sangat murah, bahkan lebih rendah dari 10% harga asli.
Contohnya, penjual yang menggelar pasar palsu di Dongdaemun Saebit Market, Seoul, Korea. Ia menawarkan berbagai produk palsu, seperti tas Prada, sepatu Nike, dan jaket Louis Vuitton dengan harga yang sangat murah. Penjualan produk palsu ini biasanya tidak menggunakan kartu kredit atau transfer bank, namun hanya menggunakan uang tunai.
Mereka yang melanggar hukum tentang merek dagang dapat dituntut hingga 7 tahun penjara atau dikenakan denda sebesar 100 juta won. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, kasus-kasus pelanggaran hukum ini semakin meningkat.
Menurut data yang dikompilasi oleh Korea Customs Service, pada tahun 2017-2022, sebanyak 467,9 miliar won (sekitar 400 juta dollar AS) produk palsu, termasuk tas dan sepatu, berhasil disita. Louis Vuitton menjadi korban terbesar pelanggaran merek dagang ini, diikuti oleh Chanel, Gucci, dan Hermes.
Kontroversi lainnya adalah bahwa pasar palsu ini juga menyebar melalui platform sosial media. Dalam beberapa tahun terakhir, penggunaan platform sosial media telah meningkat, sehingga pasar palsu dapat dengan mudah menyebar ke seluruh negeri.
Menurut ahli psikologi Kwak Geum-joo dari Seoul National University, Korean society sangat peka terhadap trend dan orang-orang peduli dengan kepentingan lainnya. Untuk merasa seperti anggota grup, orang-orang memilih untuk mengikuti orang lain agar menjadi bagian dari group. Selain itu, mereka cenderung untuk memakai barang yang mahal agar dapat menunjukkan status sosial.
Namun, ahli psikologi ini juga mencatat bahwa orang Korea memiliki kebiasaan konsumsi yang tidak sehat dan memiliki dorongan untuk membeli produk palsu karena mereka ingin merasa seperti anggota grup atau ingin menunjukkan status sosial.
Sementara itu, ahli ekonomi Lee Eun-hee dari Inha University mengatakan bahwa konsumen pasar palsu memiliki perilaku pembelian yang kuat. Ia menjelaskan bahwa orang Korea sangat peka terhadap kompetensi dan memiliki keinginan untuk menunjukkan status sosial.
Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah Korea telah berupaya keras untuk menghentikan perdagangan produk palsu. Namun, masih banyak kasus-kasus pelanggaran hukum yang terjadi.
Pada akhirnya, penting bagi kita semua untuk memahami bahwa membeli dan menjual produk palsu adalah tindakan ilegal dan dapat berakibat pada kerugian besar. Kita harus mencari cara lain untuk meraih kesenangan belanja tanpa melanggar hukum.