Tahun-tahun terakhir, industri pertambangan di Indonesia menghadapi berbagai tantangan. Salah satu faktor yang menyebabkan keberadaan korupsi adalah keterlambatan aturan turunan. Hal ini terlihat pada kasus dokumen terbang PT Aneka Tambang Tbk yang terungkap beberapa waktu lalu.
Mekanismenya sendiri tidak jelas, namun hal itu memungkinkan para pelaku korupsi untuk melakukan aksi mereka. "Yang utama adalah mekanisme diutamakan orang yang kompeten, dibuat transparan dengan cara direview oleh pihak lain supaya lebih terbuka," kata Yosef, praktisi hukum pertambangan.
Menurut Arie Nobelta Kaban, perkara dokumen terbang ini harus dilihat dari masalah Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Dengan demikian, pelanggaran yang dilakukan oleh PT Aneka Tambang Tbk diduga melanggar Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 jo 18 UU Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo Pasal 55 ayat (1), 56b KUHPidana.
Keterlambatan aturan turunan juga terlihat pada kasus efek domino jual beli jabatan yang dikemukakan oleh Komisi Pelayanan Kepolisian (KPK). Menurut KPK, suap untuk mendapat jabatan tertentu bisa menimbulkan korupsi lainnya. "Bagi kami efek korupsi dalam jabatan itu bisa menimbulkan korupsi baru atau disebut efek domino dari korupsi," kata Kabiro Humas KPK Febri Diansyah.
Penggantian uang yang dilakukan oleh para pejabat yang menyuap tersebut dengan memanfaatkan kewenangan mereka dapat merugikan publik. Akhirnya, uang akan diambil dari kewenangan yang dimiliki atau pelayanan publik yang dilakukan sehingga ini akan memicu pungli yang akhirnya memberatkan masayarakat setempat.
Dalam kasus lain, efek domino korupsi PT Timah di Babel juga terlihat. Dengan demikian, sangat penting untuk menghentikan dan mencegah praktik jual beli jabatan yang dapat menimbulkan korupsi baru.
Untuk itu, KPK mengajak daerah lain menghentikan dan kalau ada masyarakat atau calon yang dimintai uang segera melapor ke KPK agar bisa di tindak lanjuti. Ada tiga orang yang ditetapkan KPK sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap pengisian jabatan di Kudus, yaitu Bupati Kudus nonaktif Muhammad Tamzil, Staf Khusus Bupati Agus Soeranto, dan Plt Sekdis DPPKAD Kudus Akhmad Sofyan.