Maysir: Permainan yang Melalaikan dan Merugikan

Maysir: Permainan yang Melalaikan dan Merugikan

Dalam Islam, maysir adalah bentuk permainan yang melalaikan dan merugikan. Istilah ini biasanya digunakan untuk menggambarkan permainan yang mengandung unsur spekulasi atau untung-untungan di dalamnya. Maysir dapat berupa permainan kartu, dadu, catur, atau lain-lain yang melalaikan dan merugikan.

Imam Malik, salah seorang Imam Fiqh terkemuka, membagi maysir menjadi dua kategori: permainan yang terlarang dan permainan yang tidak terlarang. Dalam pandangan Imam Malik, permainan catur dan dadu adalah contoh permainan yang terlarang, karena melalaikan dan merugikan.

Namun, dalam Islam, tidak semua permainan dianggap maysir. Seorang muslim harus membedakan antara permainan yang islami dan yang tidak. Permainan yang islami adalah permainan yang tidak melalaikan dan tidak merugikan, seperti bermain dengan anak-anak atau bersosialisasi dengan teman-teman.

Nasehat

Seorang muslim ketika Allah dan Rasul-Nya melarang sesuatu, sikap mereka adalah mematuhinya. Jika berisi perintah, ia laksanakan. Jika berisi larangan, ia jauhi sejauh-jauhnya. Lihatlah bagaimana contoh teladan dari sahabat yang mulia, Abu Bakr Ash Shiddiq dalam menerima ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Abu Bakr berkata,

“Aku tidaklah biarkan satupun yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam amalkan kecuali aku mengamalkannya karena aku takut jika meninggalkannya sedikit saja, aku akan menyimpang” (HR. Bukhari dan Muslim).

Sebaliknya jika itu larangan, maka Abu Bakr akan menjauh sejauh-jauhnya. Itulah teladan yang mesti kita contoh.

Larangan bermain dadu di sini sifatnya umum, bukan hanya untuk judi saja yang dilarang, termasuk pula untuk permainan anak-anak seperti monopoli dan ular tangga meskipun tidak ada taruhan. Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

“Permainan dadu itu haram meskipun bukan untuk maksud memasang taruhan (judi). Demikian pendapat kebanyakan ulama. Sedangkan jika permainan dadu ditambah dengan taruhan, maka jelas haramnya berdasarkan kesepakatan para ulama (ijma’)” (Majmu’ Al Fatawa, 32: 246).

Hanya Allah yang memberi taufik dan petunjuk.

Referensi:

Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, terbitan Kementrian Agama Kuwait.
Al Musabaqot wa Ahkamuhaa fi Asy Syari’ah Al Islamiyyah, Syaikh Dr. Sa’ad bin Nashir bin ‘Abdul ‘Aziz Asy Syatsri, terbitan Darul ‘Ashimah dan Darul Ghoits, cetakan kedua, 1431 H.
Majmu’ Al Fatawa, Ibnu Taimiyah, terbitan Darul Wafa’, cetakan ketiga, tahun 1426 H.

@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 26 Rabi’uts Tsani 1433 H

www.rumaysho.com