Tabrakan Pesawat Garuda dengan Tebing: Korban dan Penyebab

Tabrakan Pesawat Garuda dengan Tebing: Korban dan Penyebab

======================================================

Pada tanggal 24 September 1979, kecelakaan pesawat Fokker F28 Garuda Indonesia yang mengakibatkan kematian semua penumpang dan awak pesawat menjadi salah satu tragedi terburuk sepanjang masa. Kecelakaan itu terjadi ketika pesawat dengan nomor registrasi GA 152 menabrak tebing di lokasi sekitar 32 km dari Bandara Polonia, Medan.

Kondisi cuaca pada saat kecelakaan terjadi sangat buruk, dengan kabut asap tebal yang menggelapkan pandangan. Kecelahaan ini juga berpotensi besar dan menimbulkan banyak korban jiwa. Seluruh penumpang, sebanyak 222 orang, dan 12 awak pesawat tidak selamat.

Beberapa korban identitasnya tidak dikenali dimakamkan di Monumen Membramo, Medan. Namun, sebagian besar mayat diketahui identitasnya dan dikembalikan ke keluarga mereka untuk dimakamkan pribadi.

Penyebab kecelakaan diduga akibat pandangan pilot Rachmo Wiyoga atau kopilot Sutomo yang terganggu oleh asap. Selain itu, National Transportation Safety Board (NTSB) juga merilis laporan resmi terkait penyebab kecelakaan tersebut. NTSB menemukan bahwa pesawat GA 152 berbelok ke kanan bukan ke kiri seperti yang diperintahkan oleh ATC di 6:30:04. Pesawat juga turun di bawah ketinggian ditetapkan dari 2.000 kaki (610 m) dan kemudian mengenai puncak pohon di 1.550 kaki (472 m) di atas permukaan laut.

Selain korban jiwa, kecelakaan ini juga menewaskan beberapa figur penting, seperti Yanto Tanoto, Presiden Direktur PT Inti Indorayon Utama Polar. Dua wartawan Liputan 6 SCTV, Ferdinandus Sius dan Yance Iskandar, juga menjadi korban.

Penyelidikan dan Tuntutan Hukum

Pasca tragedi memilukan tersebut, beberapa keluarga korban menuntut tanggung jawab dari pihak terkait atas kerugian yang dialami. Gugatan pertama diajukan oleh Nolan Law Group di Chicago, Illinois pada tanggal 24 September 1998 dengan nama penumpang Amerika Serikat Fritz dan Djoeminah Baden.

Tuntutan hukum tambahan yang diajukan di pengadilan negara bagian dan federal di Chicago terkait dengan lebih banyak korban dari Indonesia, Jerman, Inggris, Italia, dan Australia. Satu-satunya terdakwa dalam tuntutan hukum itu Sundstrand Corporation (sekarang menjadi Hamilton Sundstrand Corporation), perusahaan yang merancang dan memproduksi sistem peringatan pendekatan tanah atau GPWS (Ground Proximity Warning System) yang dipasang pada Airbus 300.

Para penggugat menuduh bahwa GPWS itu dirancang tidak sempurna, bahwa produsen menyadari kekurangan dalam daerah pegunungan selama lebih dari satu dekade, dan memiliki sistem bekerja seperti yang dirancang bisa menghindari kecelakaan. Data Rekaman Penerbangan mengungkapkan bahwa peringatan dari GPWS terdengar hanya lima detik sebelum pesawat melakukan kontak dengan pepohonan. Ketika pilot segera menarik jet untuk menanjak alarm hanya terdengar sekali dan langsung terpotong pepohonan. Jika alarm memenuhi standar desain internasional dan terdengar antara 18 dan 23 detik sebelum insiden, kecelakaan pesawat itu mungkin dapat dihindari.

Kesimpulan

Kecelakaan pesawat Garuda Indonesia yang menabrak tebing pada tahun 1979 menjadi salah satu tragedi terburuk sepanjang masa. Kecelakaan ini mengakibatkan kematian semua penumpang dan awak pesawat, serta menyebabkan korban jiwa lainnya. Penyebab kecelakaan diduga akibat pandangan pilot yang terganggu oleh asap, serta sistem peringatan pendekatan tanah yang dirancang tidak sempurna.

Tuntutan hukum yang diajukan oleh keluarga korban menunjukkan bahwa tragedi ini memiliki konsekuensi yang signifikan dan berpotensi besar. Kecelakaan ini juga menjadi pelajaran bagi industri pesawat untuk meningkatkan keselamatan penerbangan dan mencegah kecelakaan serupa terjadi di masa depan.