Pada era digital saat ini, judi online menjadi salah satu fenomena yang sangat populer. Berbagai jenis permainan, seperti slot, domino, poker, kasino, bola, e-games, permainan kartu, olahraga virtual hingga permainan angka, menjadi kesenangan bagi banyak orang. Namun, nilai transaksi tiap pemainnya ternyata tidak besar.
Mereka ini sebenarnya main dengan nilai transaksi kecil, tapi rutin. Maka dari itu, Sherlita menegaskan sangat penting memberikan atensi terhadap fenomena ini. Mengingat dampak judi online ini meluas ke masalah sosial masyarakat.
Data Badan Pusat Statistik (BPS), Jawa Timur menjadi provinsi yang angka perceraiannya tertinggi yang dipicu judi dari kurun waktu 2020 – 2023. Pada tahun 2020, perceraian akibat dari judi sebanyak 116 kasus, kemudian tahun 2021 sebanyak 230 kasus, selanjutnya tahun 2022 sebanyak 307 kasus dan tahun 2023 sebanyak 415 kasus.
"Jadi, dampak judi ini sangat besar, ke hubungan rumah tangga," ungkap Sherlita. Terkait upaya yang dilakukan pemerintah, Sherlita mengaku pihaknya terus berkoordinasi dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) hingga kepolisian. Jika ada temuan situs judi online maka dilaporkan ke Kemenkominfo dan BSSN untuk segera dilakukan pemblokiran.
"Sedangkan dengan kepolisian dalam hal ini Tim Siber Polda Jatim untuk melacak sekaligus menangkap pelakunya," kata Sherlita. Tak sampai di situ, Sherlita juga mengajak orangtua untuk mengawasi anaknya dalam bermain ponsel. Karena data menunjukkan judi online itu sudah merambah ke anak-anak.
"Usia di bawah 10 tahun juga sudah ada yang main judi online ini," ungkapnya. "Maka dari itu pentingnya pengawasan orangtua terhadap anak-anaknya," pesan Sherlita.
Akademisi menilai judi online seperti narkoba, harus ada upaya menyeluruh. Dosen Departemen Sosiologi Universitas Airlangga (Unair) Ratna Aziz Prasetya bilang, maraknya fenomena judi online beberapa tahun terakhir ini dipengaruhi berbagai faktor.
Tekanan kemiskinan dan gaya hidup dapat menjadikan seseorang mendapatkan tujuan tertentu secara instan. Selain kemiskinan, faktor sosial juga menjadi faktor pendukung maraknya judi online. "Seseorang yang berada di lingkungan atau pergaulan yang dekat dengan kejahatan, maka potensi untuk mengembangkan perilaku kejahatan juga dapat terjadi," ujarnya.
Faktor yang ketiga adalah faktor budaya yang menganggap judi online adalah lumrah. Faktor ini dapat menyebabkan seseorang tertarik untuk menggunakannya. Lebih lanjut lagi, permainan ini ibaratnya seperti narkoba. Jika seseorang sudah kecanduan judi online, mereka tidak bisa berhenti.
Hal ini membawa kerugian secara ekonomi apabila tidak sesuai ekspektasi mereka. "Secara mental, seseorang juga bisa terdorong untuk melakukan hal-hal yang negatif, seperti mencuri, membantah, dan lainnya," tambahnya.
Ratna juga menambahkan, saat ini permainan tersebut sudah sering diblokir pemerintah. Namun, cara pemblokiran tersebut dirasa belum efektif karena mereka dapat membuat situs baru lagi.
"Kalau kita lihat, jika ada satu situs dihapus, maka mereka akan membuat situs baru lagi. Begitu seterusnya. Menurut saya, memblokir situs itu penting tetapi harus dilihat juga dari sisi korban judi online untuk memberikan edukasi. Artinya, kita harus menyadarkan anak-anak muda agar tidak terjerumus ke dalam permainan judi online," pungkas Ratna.
Dalam kesimpulan, fenomena judi online menjadi isu yang sangat kompleks dan memerlukan upaya bersama untuk menyelesaikan masalahnya. Kita harus sadar akan dampak negatif judi online terhadap masyarakat dan berusaha mengatasinya dengan cara-cara yang efektif.