Tahun 1849, empat tahun sebelumnya dimulailah kelaparan di Jawa. Wolter Robert van Hoëvell, anggota parlemen Belanda, mengajak rekan sebangsanya untuk berpikir hingga tingkatan mana mereka telah gagal. Laporannya Slaven en vrijen onder de Nederlandsche wet adalah salah satu faktor yang mendorong penghapusan perbudakan pada tahun 1859. Namun, politik batig slot (saldo untung) tetap kuat dan mempengaruhi anggaran Belanda pada masa itu.
Meskipun Tweede Kamer memprotes penggunaan istilah daerah yang menguntungkan untuk Jawa pada tahun 1853, kritik akibat hal tersebut awalnya hanya terdengar di Belanda. Di kalangan penduduk Eropa di Hindia, kritik-kritik mulai terdengar dan makin kuat.
Kritik atas sistem tanam paksa semakin menguat, juga karena dianggap kurang tempat untuk inisiatif pribadi. Ada kesepakatan bahwa Hindia harus membawa kemakmuran atas tanah air, tetapi tak semua orang menutup mata atas cara saldo untung diperoleh.
Pada tahun 1860-an, Nederlands-Indie benar-benar menjadi sasaran pembahasan untuk perwakilan rakyat. Dengan UU Gula 1870, penarikan bertahap pemerintah Hindia-Belanda dari budi daya gula pun disahkan, sementara UU Agraria 1870 menjamin kepemilikan tanah penduduk asli Indonesia, sementara lahan liar bisa dipergunakan untuk sewa jangka panjang. Hal itu mengakhiri sistem tanam paksa.
Hingga tahun 1877, masih ada kabar burung tentang saldo untung, tetapi dengan jatuhnya harga kopi dan berkecamuknya Perang Aceh menyebabkan hal ini juga berakhir. Pendapat awal tentang penggunaan saldo untung untuk Belanda dapat dibenarkan, yakni bahwa kesatuan keuangan antara Belanda dan Hindia tidak ada lagi. Kerugiannya sepenuhnya berasal dari anggaran Hindia.
Meskipun setelah masa tersebut tidak ada lagi rumor tentang saldo untung, sisa saldo itu masih tetap ada hingga tahun 1912. Secara tidak langsung, sistem budi daya dan perdagangan di Hindia tetap penting bagi kemakmuran Belanda.
Pada awalnya, liberalisasi tampak menguntungkan penduduk Jawa, namun pengaturan atas modal yang terbatas untuk mewujudkan investasi memastikan bahwa hal itu menjadikannya tidak dapat bersaing di Eropa. Conrad Theodore van Deventer memperjuangkannya pada tahun 1899 dalam artikel Een ereschuld di majalah De Gids untuk membayarkan kembali saldo untung sebesar 187.000.000 gulden kepada Hindia sejak diberlakukannya UU Transaksi Hindia pada tahun 1867.
Meskipun tampaknya besar, hal itu tampaknya tak pernah terjadi. Oleh Menteri Idenburg, utang Hindia sebesar 40.000.000 gulden diambil alih pada tahun 1905. Selama masa itulah, politik etis dimulai, yang tujuannya adalah membentuk penduduk negeri jajahan sedemikian rupa sehingga dapat mandiri secara politik dan ekonomi.
Namun, di sini juga, kepentingan pribadi memainkan peran penting untuk Belanda.