Dalam beberapa tahun terakhir, kebangkrutan korporasi global telah mencapai level yang sangat tinggi. Menurut data, lebih dari 192 korporasi yang memiliki utang di atas US$100 juta (sekitar Rp1,45 triliun) mengalami kebangkrutan. Sayangnya, belum ada data resmi yang dapat memberikan informasi akurat mengenai jumlah korporasi yang bangkrut di seluruh dunia, baik untuk korporasi besar maupun usaha mikro, kecil dan menengah.
Menurut data lain, sejak pandemi Covid-19 dimulai di Amerika Serikat, secara keseluruhan sudah ada sekitar 23.114 korporasi yang bangkrut, di Inggris 3.883, Jepang sekitar 780, dan Singapura sekitar 110 korporasi.
Kebangkrutan dari korporasi, khususnya perusahaan multi nasional akan menyisakan sebuah potensi masalah besar dan bisa menimbulkan krisis turunan lainnya. Salah satu dampak negatif dari kebangkrutan korporasi tersebut adalah potensi risiko gagal bayar dari utang-utang mereka menjadi semakin besar dan tidak terkendali, baik dalam bentuk pinjaman dari bank maupun obligasi korporasi.
Perbankan menghadapi dilema yang sangat sulit menghadapi kebangkrutan korporasi tersebut. Di satu sisi, restrukturisasi kredit sangat mustahil dilakukan apabila mereka sudah bangkrut dan menyatakan diri pailit. Di sisi lain, bank-bank yang memberikan fasilitas kredit sangat membutuhkan likuiditas yang menjadi barang langka di saat pandemi.
Bagi investor yang telah membeli obligasi korporasi juga menghadapi situasi yang sulit, karena ancaman gagal bayar sudah menjadi fakta yang tidak bisa dihindari lagi. Diperkirakan saat ini obligasi korporasi yang telah diterbitkan oleh seluruh korporasi global telah mencapai angka US$2,1 triliun. Apabila kita asumsikan bahwa 10% dari korporasi tersebut mengalami kebangkrutan maka uang investor senilai Rp3.045 triliun akan lenyap ditelan bumi.
Kerugian finansial yang dihadapi oleh investor yang memegang surat utang tersebut sangat besar mengingat mereka tidak masuk ke dalam kelompok kreditur separatis (unsecured creditors) yang akan mendapatkan pembayaran pertama. Demikian halnya para investor yang menjadi pemegang saham korporasi yang sudah menjadi perusahaan terbuka, juga mengalami potensi kerugian finansial yang cukup besar, karena mereka juga dikategorikan sebagai unsecured creditors.
Akibatnya, mereka bisa gigit jari lantaran tidak mendapatkan apa-apa apabila penjualan seluruh harta setelah dikurangi dengan hak kreditur separatis ternyata tidak menyisakan uang sama sekali.
Kebangkrutan korporasi juga memberikan dampak negatif terhadap struktur pasar dari pelaku ekonomi di sektor riil. Hilangnya beberapa korporasi besar tentunya akan membuat struktur pasar untuk sektor usaha tertentu yang tadinya bersifat persaingan sempurna akan mengarah ke pasar oligopoli atau bahkan monopoli.
Pemain yang masih eksis dapat mengendalikan harga barang menjadi lebih mahal di tengah berkurangnya jumlah pemain di industri tersebut. Konsumen tentunya akan menjadi korban dengan hilangnya beberapa pemain, sehingga mereka tidak memiliki banyak pilihan untuk membeli barang atau memanfaatkan jasa dari korporasi yang masih eksis.
Pemerintah sendiri juga akan mengalami kerugian finansial yang tidak sedikit dengan gelombang kebangkrutan korporasi tersebut. Pemasukan pajak menjadi berkurang sehingga mengganggu sumber penerimaan negara, khususnya di saat pandemi ini dimana penanganan Covid-19 beserta dampaknya memerlukan anggaran yang sangat besar.
Bagi masyarakat sendiri, kebangkrutan korporasi juga menjadikan sebagian dari keluarga mereka harus rela kehilangan pekerjaan dan menganggur sampai waktu yang tidak jelas. Pengangguran tersebut akan memicu keterpurukan ekonomi dan meningkatkan tingkat kemiskinan di masyarakat.
Dalam beberapa tahun terakhir, kebangkrutan korporasi global telah menjadi trend yang semakin umum. Oleh karena itu, perlu adanya upaya-upaya strategis untuk menghadapi masalah ini. Salah satu contoh adalah dengan meningkatkan kualitas manajemen dan melakukan restructuring pada korporasi agar tetap berjalan dengan baik.
Selain itu, pemerintah juga perlu menjadi aktor yang aktif dalam menghadapi kebangkrutan korporasi. Dengan memberikan dukungan kepada korporasi yang terkena dampak pandemi, serta meningkatkan kualitas regulasi dan perlindungan bagi investor, maka kita dapat meminimalisir dampak negatif dari kebangkrutan korporasi.
Dalam kesimpulan, kebangkrutan korporasi global adalah masalah yang sangat kompleks dan memerlukan upaya-upaya strategis untuk menghadapinya. Dengan meningkatkan kualitas manajemen, melakukan restructuring, serta memberikan dukungan kepada korporasi yang terkena dampak pandemi, maka kita dapat meminimalisir dampak negatif dari kebangkrutan korporasi dan mencegah kemunduran ekonomi.