Pemerintahan daerah di Indonesia telah lama mengalami berbagai masalah, salah satu yang paling signifikan adalah korupsi. Korupsi ini tidak hanya terjadi pada tingkat Gubernur dan Bupati/Walikota, tapi juga pada tingkat Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Pemerintahan daerah yang korup dapat merusak sistem pemerintahan dan menghilangkan kepercayaan rakyat.
Menurut data Liputan Enam, hingga tahun 2021, tercatat sebanyak 22 Gubernur dan 122 Bupati/Walikota yang korup terjaring KPK dan atau Kejaksaan. Dampaknya adalah terjadinya penyalah-gunaan kewenangan yang melahirkan korupsi berjamaah. Sebagai contoh, ada seorang Gubernur yang menggunakan Dana Otsus atau APBD untuk memenuhi hasratnya berjudi online.
Selain korupsi, pemerintahan daerah juga mengalami kegaduhan pada tingkat SKPD pasca pemilihan Kepala Daerah. Biasanya Kepala Daerah yang baru terpilih merombak susunan SKPD-nya, mengangkat pejabat baru dari kalangan tim suksesnya dalam Pilkada, dan menon-job-kan pejabat lama yang tidak loyal padanya selama proses Pilkada itu.
Hal ini dilakukan guna mengamankan kebijakan-kebijakan Kepala Daerah yang bersangkutan, serta sebagai persiapan membayar kost pilkadanya. Dampaknya adalah terjadinya penyalah-gunaan anggaran dan korupsi berjamaah.
Sistem pemilihan suara terbanyak juga telah melahirkan liberalisme kapitalis dalam pemerintahan daerah. Sistem ini berlaku berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan uji materi atas pasal 214 UU No. 10/2008.
Dengan demikian, partai-partai politik tidak lagi memiliki kedaulatan dan menjadi tidak lebih kendaraan mati bagi politisi kapitalis. Partai-partai ini tidak dapat menjamin kadernya untuk mewakilinya di DPR RI atau di DPRD, sebab ia dibajak oleh pendatang baru di partai yang walaupun baru seminggu memegang KTA.
Dampaknya adalah partai yang diamanahkan oleh Undang-Undang untuk menjadi lembaga politik guna melahirkan kader-kader pemimpin ideologis untuk bangsa, gagal total. Partai-partai ini terpaksa merekomendasi kandidat yang kuat modal, walaupun bukan kadernya sendiri.
Dalam keadaan seperti itu, demokrasi transaksional lahirlah sebagai cerminan liberalisme kapitalis. Seorang tokoh yang siap maju dalam Pilkada kadang membeli sejumlah partai guna mencukupi jumlah anggota DPRD yang menjadi syarat pencalonan.
Berdasarkan sejumlah dampak negatif tersebut, maka sebagian anggota dalam Komisi Kajian Ketatanegaran (K3) MPR RI 2019-2024 mengusulkan kiranya dilakukan evaluasi terbatas atas Reformasi. Bukan berarti membatalkan hasil-hasil positif dari Reformasi itu sendiri, melainkan guna lebih mengarahkan agar Reformasi yang bertujuan mewujudkan kehidupan demokrasi secara sehat berdasarkan Pancasila dapat tercapai secara maksimal.
Wallahu A’lam bil- Showabi.