Kondisi Global Sebabkan Rugi Bersih Sritex (SRIL) Bengkak Rp1,17 Triliun

Kondisi Global Sebabkan Rugi Bersih Sritex (SRIL) Bengkak Rp1,17 Triliun

Rugi Sritex (SRIL) Bengkak Jadi Rp1,17 Triliun Semester I/2023

Kisah Garuda (GIAA) dan Sritex (SRIL), Penguasa Industri yang Masuk Pantauan Bursa

Dalam artikel ini, kita akan membahas kondisi global yang membuat Sritex (SRIL) mengalami rugi bersih sebesar Rp1,17 triliun pada semester I/2023. Selain penjualan ekspor yang turun terjadi di kawasan Asia, Eropa, Amerika Serikat dan Amerika Latin, Uni Emirat Arab dan Afrika, emiten yang memiliki kode saham SRIL ini juga mengalami pelemahan permintaan di pasar domestik.

Sejarah Sritex
Mengutip laman resmi Sritex.co.id, PT Sri Rejeki Isman Tbk. (SRIL) atau yang dikenal dengan nama Sritex didirikan oleh HM. Lukminto pada 1966 sebagai sebuah usaha perdagangan tekstil di Pasar Klewer, Solo dengan awalnya diberi nama “UD Sri Redjeki”.

H.M. Lukminto memulai kariernya di bidang tekstil sejak berdagang di Pasar Kelewer, Solo, Jawa Tengah hingga pada 1968 dia membangun pabrik tekstil di Sukoharjo untuk memproduksi kain mentah dan bahan putih.

Selanjutnya, pada 1978, nama dan badan hukum UD Sri Redjeki resmi diubah menjadi PT Sri Rejeki Isman. Setelah empat tahun beroperasi sebagai Sri Rejeki Isman, pada 1982, perusahaan ini mendirikan pabrik penenunan pertamanya.

Hingga pada 1992, perusahaan bisa memperluas pabriknya, sehingga dapat menampung empat lini produksi sekaligus, yakni pemintalan, penenunan, penyelesaian, dan garmen.

Pada tahun 1994, perusahaan ini dipercaya memproduksi seragam militer untuk pasukan militer NATO dan Jerman. Sritex juga berhasil mengantongi sertifikat dari organisasi pakta pertahanan Atlantik Utara itu sehingga pesanan pun terus berdatangan.

Hingga kini, Sritex telah dipercaya untuk memproduksi pakaian militer untuk lebih dari 33 negara.

Pada 2001, setelah krisis moneter 1998, Sritex juga masih mampu mencetak pertumbuhan kinerja dengan melipatgandakan pertumbuhan kinerjanya hingga delapan kali lipat dibandingkan dengan saat pertama kali melakukan perluasan pabrik pada 1992.

Terus mencetak kinerja positif, terutama dengan kinerja pada 2012 yang mencatatkan pertumbuhn dua kali lipat dibandingkan dengan pada 2008, pada tahun 2013, perusahaan ini resmi melantai di Bursa Efek Indonesia dengan kode sama SRIL.

Pada 2015 Sritex juga terus melakukan ekspansi melalui Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Puan Maharani dan Menteri Perindustrian Saleh Husin. Ritex juga mendapatkan beragam penghargaan, salah satunya Bisnis Indonesia Awards tahun 2016.

Terus melebarkan sayap, pada 2018, perusahaan ini mengakuisisi PT Primayudha Mandirijaya dan PT Bitratex Industries untuk meningkatkan kapasitas pemintalannya.

Adapun, pada tahun 2020, sebagai bagian dari upaya untuk mencegah penyebaran Covid-19, perusahaan juga turut andil mendistribusikan 45 juta masker hanya dalam waktu tiga minggu. Pada tahun yang sama, untuk pertama kalinya, perusahaan ini mengekspor produknya ke Filipina.

Saat ini, Sritex memusatkan sebagian besar operasinya di lahan seluas 79 hektar di Sukoharjo. Selain dari Indonesia, Sritex juga mempekerjakan sejumlah tenaga profesional dari luar negeri, seperti dari Korea Selatan, Filipina, India, Jerman, dan China.

Klien besar Sritex antara lain H&M, Walmart, dan beberapa perusahaan ternama lainnya. Dengan memiliki lebih dari 30.000 karyawan dan beroperasi di lebih dari 20 negara, Sritex menjadi salah satu penguasa industri tekstil terbesar di dunia.

Namun, kondisi global yang makin sulit membuat Sritex mengalami rugi bersih sebesar Rp1,17 triliun pada semester I/2023. Selain penjualan ekspor yang turun, Sritex juga menghadapi tekanan harga material dan biaya operasional yang makin meningkat.

Dalam artikel ini, kita akan membahas lebih lanjut kondisi global yang mempengaruhi Sritex dan bagaimana perusahaan ini mencoba mengatasi masalah tersebut.