Sritex, salah satu perusahaan tekstil terbesar di Indonesia, kini menghadapi masalah signifikan. Perusahaan yang didirikan oleh Haji Muhammad Lukminto (H.M Lukminto) pada tahun 1966 ini menanggung defisit modal sebesar US$707,46 juta atau sekitar Rp 10,7 triliun. Defisit modal ini berarti bahwa jumlah liabilitas Sritex lebih besar dari asetnya.
Menurut laporan, jumlah liabilitas Sritex mencapai US$1,57 miliar atau Rp23,8 triliun, sedangkan asetnya hanya sebesar US$707,43 juta atau Rp10,75 triliun. Hal ini berarti bahwa perusahaan memiliki hutang jangka panjang yang sangat besar, terutama dari bank dan penerbitan obligasi.
Pada semester I 2023, tercatat utang bank dan obligasi Sritex sebesar US$1,3 miliar atau setara Rp19,82 triliun. Dalam rincian, utang bank mencapai US$935,67 juta atau Rp14,22 triliun, sedangkan obligasi mencapai US$368,25 juta atau Rp5,6 triliun.
Sritex juga memiliki sejarah yang panjang dan kompleks. Didirikan oleh Haji Muhammad Lukminto (H.M Lukminto) pada tahun 1966, perusahaan ini mulai tumbuh subur dengan berjualan tekstil di Solo. Dalam beberapa tahun ke depan, Sritex membuka pabrik cetak pertamanya yang menghasilkan kain putih dan berwarna untuk pasar Solo.
Pendirian pabrik inilah yang kemudian menjelma menjadi PT Sri Rejeki Isman atau Sritex yang kini bertahan hingga kini pada tahun 1980. Tak banyak cerita 'tangan dingin' Lukminto dalam menjadikan Sritex sebagai 'raja' industri kain di Indonesia.
Satu hal yang menarik dari dirinya adalah kedekatannya dengan Presiden Indonesia Ke-2, Soeharto. Rupanya ada tangan dingin penguasa itu dalam perkembangan Sritex. Mengutip Prahara Orde Baru (2013) terbitan Tempo, Sritex adalah ikon penguasa karena disinyalir berada di bawah perlindungan Keluarga Cendana, sebutan bagi keluarga Soeharto.
Fakta ini tidak terlepas dari kedekatan Lukminto dengan tangan kanan Cendana, yakni Harmoko yang selama Orde Baru dikenal sebagai Menteri Penerangan dan Ketua Umum Golkar. Harmoko adalah sahabat kecil Lukminto.
Karena dekat dengan pemerintah dan pemegang pasar, Sritex dan Lukminto mendapat durian runtuh. Di masa Orde Baru, Lukminto beberapa kali menjadi pemegang tender proyek pengadaan seragam yang disponsori pemerintah.
Di dalam negeri, ketika itu Sritex (tahun 1990-an) menerima orderan seragam batik Korpri, Golkar, dan ABRI. Dan karena ini pula Sritex mendapat jutaan rupiah dan dollar, ditambah dengan penguasaanya terhadap pasar garmen di dalam dan luar negeri.
Dalam era Orde Baru, Sritex sangat beruntung dengan kedekatannya dengan pemerintah. Namun, pada saat yang sama, perusahaan juga menanggung hutang jangka panjang yang besar. Hal ini membuat Sritex ambang kebangkrutan dan memerlukan solusi segera untuk mengatasi masalah defisit modalnya.
Artikel berikut: [Rugi Sritex (SRIL) Bengkak Jadi Rp 1,2 T](next article)
Video terkait: Industri Tekstil Gawat Darurat, Bisnis Baju Anak Lokal Ikut Terdampak?