====================================================================
Macau, sebuah daerah yang berjarak kurang dari 2 km dari kota tua Macau, sebenarnya memiliki sejarah yang panjang dan unik. Kuil A Ma, juga dikenal sebagai Ou Mun, adalah tempat sembahyang masyarakat setempat sebelum kemudian penjajah Portugis datang pada tahun 1550-an.
Sejak diserahkan kembali ke Cina pada akhir tahun 1999, Macau telah disulap menjadi lokasi perjudian untuk menyaingi Las Vegas. Dengan 29 kasino raksasa dan ratusan tempat hiburan malam, Macau telah menjadi magnet bagi mereka yang ingin mencoba peruntungan dari Hong Kong, Cina daratan, dan berbagai belahan dunia.
Kami berangkat ke Macau menggunakan Ferry cepat Turbo Jet dari Hong Kong Ferry Terminal di Sheung Wan. Harga tiketnya HK$ 172, dan ferry berangkat setiap 15 menit selama 24 jam. Namun antara pukul 00.00-06.00, ferry berangkat 1 jam sekali.
Setelah perjalanan satu jam, kami tiba di Macau pada waktu 20.00 waktu setempat. Gemerlap kasino-kasino raksasa membuat langit malam di Macau menyemburat merah. Bangunan kasino bermacam-macam bentuknya untuk menarik para penjudi.
Baru saja turun dari ferry, beberapa orang membagi-bagikan brosur yang berisi tawaran paket hiburan plus-plus, mulai dari striptease yang dibandrol HK$ 300 sampai iklan layanan jasa seks komersial mulai harga HK$ 800. Jangan heran, selain perjudian, bisnis prostitusi juga legal di Macau.
Sepertinya, aktor Chow Yun Fat memiliki tempat tersendiri bagi Macau. Wajah aktor yang terkenal dengan film Gods of Gambler (Dewa Judi) ini muncul di pintu-pintu taksi dengan gaya sedang berjudi.
Semua papan petunjuk informasi dibuat dalam dua bahasa, Portugis dan Mandarin. Usai kami mengisi perut, kami memutuskan pergi ke ujung Jalan Avenida, Dr Rodrigo Rodrigues. Di sini ada ruang terbuka yang cukup luas dan kami bisa memandang ke banyak Casino besar di sekitar kami.
Malam kian larut, namun justru kota ini tidak menunjukan tanda-tanda akan tidur. Ratusan orang hilir mudik keluar masuk Kasino. Masuk kasino dengan penuh semangat, dan banyak yang keluar dengan wajah lemas.
Saya tidak bisa membayangkan berapa banyak orang yang datang ke sini pada akhir pekan. Lelah dengan hiruk pikuk dunia judi, kami menyingkir ke kota tua Macau. Suasananya sungguh kontras dengan jarak kurang dari 2 km, kami seolah-olah terlempar ke abad 16.
Bangunan-bangunan kolonial yang masih terawat, jalanan dengan ubin batu, langsung dibawa dari Portual, tetap awet sampai kini. Kami menuju ke perbukitan untuk melihat reruntuhan gereja Santo Paulo. Igreja de Santo Paulo, itu namanya. Terletak di perbukitan, gereja ini menjadi kenangan akan kekuasaan Portugis di masa silam.
Dibangun antara tahun 1602-1640, gereja ini habis terbakar pada 1835. hanya bagian depannya saja yang tersisa hingga kini. Sisa sisa reruntuhan gereja ini menjadi ikon Macau.
Waktu sudah masuk dini hari. Kami pun kembali turun ke pusat kota Macau. Kota judi yang tidak pernah tidur.