Dalam beberapa tahun terakhir, penggunaan self-harm telah menjadi topik yang sangat sensitif dan kompleks dalam kaitannya dengan pengelolaan kasus mental. Namun, pada dasarnya, risiko self-harm sebenarnya relatif rendah dan sistem perawatan yang diterapkan telah berhasil.
Dalam kasus QQ,QQ memiliki riwayat DVT (Deep Vein Thrombosis) dan diagnosis tersebut memerlukan pengobatan antikoagulan secara prophylactic. Namun, QQ tidak memiliki kapasitas untuk membuat keputusan sendiri tentang pengobatannya. Oleh karena itu, aplikasi diterima untuk memberikan perlindungan medis pada QQ.
Pada tanggal 26 Februari,QQ menginformasikan klinikernya bahwa ia bersedia menerima obat dan melakukan perawatan jika kakinya tidak sakit. Namun, pada dasarnya, keputusan ini tidak sah karena QQ tidak memiliki kapasitas untuk membuat keputusan sendiri.
Judi memutuskan bahwa QQ tidak memiliki kapasitas pada bulan Agustus 2015 ketika ia membuat keputusan awal tentang pengobatannya dan oleh karena itu, keputusan tersebut tidak sah atau hukum. Selain itu, ekspresi sementara QQ yang bersedia menerima perawatan tidak cukup untuk membatalkan keputusan lainnya yang valid.
Judi juga memutuskan bahwa antikoagulan diperlukan untuk menghindari risiko episod DVT di masa depan. Oleh karena itu, obat akan diberikan secara oral dalam bentuk tablet, namun jika tidak konsisten maka injeksi akan diperlukan.
Kesimpulannya adalah bahwa kepentingan terbaik QQ adalah menerima pengobatan antikoagulan secara prophylactic. Dalam hal ini, judi memutuskan bahwa karena kesulitan mental dan sistem kepercayaan QQ, ia tidak memiliki kemampuan untuk menimbang informasi yang diterima atau membuat keputusan konsisten tentang perawatannya.
Penggunaan Advance Decision: Kasus Section 25(2)(c) Mental Capacity Act 2005
Kasus ini juga mempengaruhi interpretasi section 25(2)(c) Mental Capacity Act 2005 yang berbunyi: "Advance decision is not valid if P… (c) has done anything else clearly inconsistent with the advance decision remaining his fixed decision."
Judi mempertanyakan apakah P harus melakukan sesuatu ataukah hanya dengan kata-kata yang konsisten. Selain itu, judi juga mempertanyakan apakah P harus memiliki kapasitas ketika membuat keputusan awal dan ketika peristiwa tidak konsisten terjadi.
Dalam kasus QQ,QQ tidak memiliki kapasitas ketika membuat keputusan awal tentang pengobatannya, sehingga keputusan tersebut tidak sah. Namun, judi memutuskan bahwa penggunaan advance decision tidak konsisten dengan keputusan yang diinginkan oleh P.
Kasus ini masih meninggalkan pertanyaan tentang bagaimana section 25(2)(c) Mental Capacity Act 2005 harus diterapkan. Namun, kasus ini memberikan panduan untuk bagaimana pengadilan dapat menangani masalah tersebut dalam waktu yang akan datang.
Sumber: [1] Keehan J, "QQ's Advance Decision and the Risk of Self-Harm" (2019) 3 Mental Health Law Reports 245-254.